Header Ads

Sepuluh Lagi Dari Pelatnas Pra Piala Dunia


Uji coba tim Pra Piala Dunia melawan UMS 80 di Senayan. (Dokumentasi Tabloid BOLA)
Minggu lalu sepuluh pemain belakang dan kiper, kini sepuluh lagi pemain pelatnas PSSI Pra Piala Dunia kita tampilkan. Semuanya gelandang. Minggu depan, bersama sisa tujuh pemain penyerang yang belum kebagian tempat, akan disertakan pula wawancara dengan pelatih Sinyo Aliandoe.
Zulkarnaen Lubis

Sebenarnya dia adalah ujung tombak di Mercu Buana. Penampilannya juga amat gemilang di posisi tersebut. Tetapi Aliandoe mengubahnya menjadi pemain tengah. Karena itu mungkin selama di pelatnas, Zul belum menunjukkan kemampuan terbaiknya.

Bekas pemain klub Agas Binjai ini membuka debutnya tahun 1978. Kemudian direkrut PSKB Binjai dan PSMS Medan. Tahun 1980, dibawah pelatih Ipong Silalahi dan Eddy Simon, ia berhasil mempersembahkan gelar juara nasional Piala Suratin bagi PSMS Medan.

Setelah itu ia ditarik ke Mercu Buana. Tahun lalu pernah dipinjam PSSI Garuda. Zul juga pernah ikut Piala Presiden di Seoul, di bawah pelatih dokter Endang Witarsa. Ia mengagumi Kevin Keegan, bintang Inggris.

Lahir di Binjai 21 Desember 1961, Zul mempunyai karakter keras. Karena karakternya inilah ia sempat ribut dengan pelatih Mercu Buana, George Kirby ketika pertarungan final Galatama. Modal inilah yang membuat Zul menjadi pemain yang cukup disegani.

Joko Malis

Banyak orang yang mengatakan Joko Malis Mustafa adalah pembawa keberuntungan. Hal ini dikaitkan dengan sukses Yanita Utama menjadi juara kompetisi Galatama tahun ini. Sebelumnya Joko berada di Niac Mitra Surabaya, dan klub ini menjadi juara Galatama dua kali berturut-turut.

Harapan orang tentu saja, mudah-mudahan Joko juga membawa keberuntungan untuk tim nasional yang dipersiapkan ke Pra Piala Dunia kali ini. Tampaknya Joko juga pasti mendapat tempat untuk posisi ini, selain pengalaman baik nasional maupun internasionalnya cukup banyak, kemampuan teknik Joko juga di atas rata-rata pesaing lainnya.

Mengawali karirnya di klub Angkatan Darat Surabaya dengan trio pelatih pertamanya Solekan, Kasmuri, dan Misbach, tetapi kemudian Joko sempat digodok lima pelatih asing. Tony Pogaknik, Will Coerver, Marek Janota, Frans Van Balkom, dan Bernd Fischer. Joko semakin matang berada di bawah pelatih Mohammad Basri di Niac Mitra. Ia amat menyukai Pele, Zico, dan Maradona.

Rohandy Yusuf

Satu-satunya pemain dari Ujungpandang yang dipanggil untuk pelatnas PSSI kali ini. Biasanya dua rekannya, Karman Kamaluddin dan Musdan Latandang sering bersama, tetapi karena hanya Rohandy yang konsisten prestasinya dalam kompetisi Galatama, Aliandoe memberikan kesempatan hanya untuknya.

Dendy, demikian panggilan akrab anak M. Yusuf Abu yang ketiga dari 12 bersaudara ini. Klub pertamanya adalah Beringin Putra. Ia merupakan hasil temuan Kamaluddin (ayah Karman). Kemudian dibesarkan Ilyas Hadade di klub Makassar Utama.

Pengagum Presiden Soeharto ini juga mengagumi Zico, pemain asal Brasil. Pemuda kelahiran Ujungpandang 2 Juli 1961 ini pernah ikut PSSI Pra Olimpiade 83 yang gagal.

Yusuf Bachtiar

Dari seluruh anggota pelatnas, Yusuf Bachtiar adalah pemain paling mungil. Namun bukan berarti ia anak bawang. Ia mampu menampilkan permainan keras untuk membantu gempuran timnya. Ini diperlihatkan di Perkesa 78, klub yang dimasukinya sejak 1983.

Semangat juang dan keberaniannya tak kalah dari Elly Idris. Bahkan ia tak gentar dihadang pemain sebesar apapun, tetapi memang sering kalah dalam adu fisik. Anak asuhan Iswadi Idris ini memiliki kelincahan tersendiri untuk meloloskan diri dari sergapan lawan. Kesan lincah, tergambar jelas.

Lahir di Bandung, 14 Juni 1962. Anak keempat dari delapan bersaudara keluarga Bachtiar. Pengagum Ir Sukarno (Presiden Rl pertama) ini mengawali karirnya dalam sepakbola tahun 1977 di UNI Bandung. Pelatih yang menemukannya adalah Omo Suratmo.

Pengalaman internasionalnya cukup lumayan. Tahun 1982, ikut memperkuat PSSI Yunior ke Kejuaraan Dunia grup I. Kemudian Merlion Cup Singapura dan pernah ikut PSSI Pratama tahun lalu. Bintang sepakbola yang dikaguminya juga bertubuh mungil, Oswaldo Ardiles dari Argentina.

Elly Idris

Ketika berada di klub Jayakarta Galatama, Elly adalah pemain sayap. Tetapi sejak ia bergabung dengan Yanita Utama tahun 1982 ia beralih posisi menjadi gelandang menyerang. Kemampuan teknik belum seberapa. Tetapi ia mengimbanginya dengan semangat dan kegigihan yang luar biasa. Ia juga selalu tampil dengan berani.

Pemuda kelahiran Sanana, 4 November 1962 ini merupakan putra bungsu keluarga Mani Kau. la pertama meniti karirnya di bawah pelatih Sutan Harhara tahun 1982. Sebelumnya ia hanya bermain begitu saja.

Prestasinya terbilang cukup lumayan. Ia terus meningkat. Tetapi kelemahannya sering menumpahkan kesalahan pada teman lainnya. Namun demikian, ia memiliki dedikasi tinggi untuk tim.

Robby Darwis

Seperti juga Ferrel yang tampil gemilang dalam Kejurnas PSSI tahun lalu, Robby Darwis putra Pasundan yang dilahirkan di Bandung 30 Oktober 1964, sempat membuat orang terkagum-kagum. Anak bontot keluarga Eddy Supriadi Darwis ini dibesarkan pelatih Marek Janota ketika masih berada di Bandung.

Kemudian setelah gagal mempersembahkan piala PSSI karena kalah adu pinalti dengan PSMS Medan, Robby Darwis bergabung dengan Tempo Utama Galatama. Di bawah pelatih Sutan Harhara, bakat Robby sebagai gelandang semakin menonjol.

Pengagum Johan Cruyyf ini membekali dirinya dengan ilmu beladiri karate. Ia juga amat menyukai musik country dan rock seperti ia menyukai bekas presiden Amerika yang nyentrik, Jimmy Carter. Tinggi badannya cukup meyakinkan, 176 cm.

Badia Raja Manurung

Februari lalu, putra sulung dari tujuh bersaudara keluarga AS Manurung ini meraih gelar Insinyur pada Fakultas Pertanian USU Medan. Gelar yang semula dianggap sementara orang tidak mungkin bagi pemain sepakbola, apalagi Galatama, karena soal waktu. Badia, begitu nama akrabnya, membuktikan anggapan tersebut tidak seluruhnya benar.

Pemuda kelahiran Medan, 5 Agustus 1958 ini sudah menampakkan kelebihannya sejak ia mengawali karirnya sebagai pemain gelandang di klub Medan Putra tahun 1976. Wasit Ir. Johar Arifin dan pelatih Yuswardi menemukannya dari tumpukan bakat anak-anak Medan. Kemudian Badia dibesarkan oleh pelatih Ipong Silalahi dan Yuswardi hingga terpilih menjadi pemain termuda PSSI.

Jika gelandang elegan ini kelak terpilih, merupakan kesempatan kedua bagi pemain Mercu Buana ini. Tahun 1981, ia juga terpilih menjadi pemain Pra Piala Dunia, meski ketika itu hanya menjadi cadangan.

Gayanya yang klasik diambil dari para tokoh yang dikaguminya, Junaidi Abdillah dan Socrates. Tetapi diam-diam Badia juga mengagumi John McEnroe, petenis urakan dari AS itu, dan perdana menteri Inggris Margareth Thatcher.

Herry Kiswanto

Walaupun tubuhnya paling kecil dari empat saingannya di posisi libero, tetapi Herry Kiswanto adalah pemain terbaik untuk posisi itu di Indonesia hingga saat ini. Hanya Ronny Pattinasarani yang mampu mengimbangi kemampuannya. Tetapi bukan berarti Herry akan bersenang-senang untuk terpilih sebagai pemain inti. Ia juga harus berjuang, minimal memperlihatkan keunggulan dan ketahanan fisik.

Jika ia terpilih, ini merupakan kesempatan kesekian kali baginya membela panji negara lewat sepakbola. Sejak ia bergabung dengan Pardedetex Medan tahun 1979, nama Herry seperti lekat dengan dunia sepakbola nasional. Berbagai pelatih yang menangani tim nasional selalu memanggilnya.

Tetapi karirnya nyaris terputus ketika nasibnya terkatung-katung dari Pardedetex sebelum klub kota Medan itu bubar. Akhirnya ia berhasil hijrah ke Yanita Utama dan mempersembahkan mahkota juara untuk klub barunya di Bogor itu. '

Lahir di Banda Aceh, 25 April 1957, Herry, ayah seorang putra ini , mengawali karirnya di klub UNI Bandung. Ketika itu pelatih yang menanganinya adalah Komar dan Marzuki. Herry kagum pada pemain Brasil yang saat ini main di Italia, Roberto Falcao. Ia juga suka pada Jimmy Connors, petenis Amerika yang tampan. Untuk tokoh politik, Nyonya Indira Gandhi adalah idolanya.

Ferrel Raymond Hattu

Seperti J.A. Hattu, sang bapak, Ferrel Raymond Hattu, pemuda Maluku ini, lahir dan besar di Surabaya. Akibatnya logat bicaranya juga sudah seperti arek-arek Suroboyo asli. Tak heran sudah berkali-kali ia menjadi pembela kota buaya dalam berbagai kejuaraan.

Mengawali karirnya di klub Indonesia Muda, pelatih yang membesarkannya adalah sang bapak sendiri. Setelah penampilan gemilangnya di Kejurnas PSSI tahun 1983 di Jakarta, Ferrel kemudian direkrut Moh. Basri,  pelatih Niac Mitra. Debutnya di Galatama cukup lumayan.

Ferrel yang dilahirkan di Surabaya 9 Agustus 1962 ini memang masih termasuk miskin pengalaman, apalagi internasional. Tetapi ia mempunyai keberanian dalam melepaskan tembakan ke gawang lawan, walaupun sebenarnya ia lebih merupakan pemain gelandang bertahan.

Mahasiswa Fakultas Ekonomi Univ. Surabaya ini memiliki tinggi badan 176 cm. Ia mengagumi permainan Johan Cruyff, bintang Belanda. Untuk bintang lokal, Ferrel, seperti Badia, mengagumi Junaidi.

Dudung Abdullah

Anak Bekasi yang dipungut dokter Endang Witarsa ke Warna Agung ini membuktikan dirinya memang punya klas untuk masuk pelatnas Pra Piala Dunia. Memiliki tinggi badan 176 cm, Dudung putra kelima keluarga Bachrullah, gigih dan pantang menyerah. Ia juga sudah mempunyai teknik yang baik. Satu bukti lain dari kehebatan tangan dokter Endang Witarsa dalam menyulap pemain-pemain muda.

Ia adalah teman dekat Warta Kusuma. Pengalaman nasional dan internasionalnya juga nyaris serupa dengan Warta. Keduanya merupakan duet yang serasi sejak masih sama-sama di klub Bekasi Putra. Hanya saja Dudung, gelandang Warna Agung ini, tak sempat dipanggil PSSI Garuda.

Di klub Warna Agung, dokter Endang sudah memberikan kepercayaan padanya untuk menjadi kapten. Memimpin rekan-rekannya baik yang lebih senior maupun yunior. Ini juga merupakan bukti dari kemampuannya yang terus meningkat. Dudung senang pada petinju Muhammad Ali. Satu kontradiksi dari penampilannya sehari-hari yang pendiam.

(Penulis: Mahfudin Nigara - Tabloid BOLa, edisi no. 17, Jumat 22 Juni 1984)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.