Header Ads

Konsorsium, Manajemen Gagal dan Sejuta Kesalahan yang dilimpahkan ke LPIS

Gagalnya konsep membangun klub sepakbola professional Indonesia tentunya disayangkan banyak pihak. Profesionalitas yang terkesan premature ini menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal financial klub.

Jika dirunut, sudah jelas akar permasalahan ada pada Manajemen klub yang gagal. Kedua, dari pihak konsorsium sendiri tidak melakukan “fit and proper test” pada penunjukan orang-orang yang duduk di manajemen klub. Dan juga tidak adanya audit berkala terhadap keuangan klub oleh pihak konsorsium.

Solusi dengan jalan “konsorsiumisasi’ pun terbukti tidak efektif mencetak klub-klub untuk dapat berjalan mandiri. Ditambah lagi dengan iklim sepakbola tanah air yang sedang dilanda konflik, tentunya membuat para investor enggan masuk dalam dunia sepakbola.

Suporter yang tentunya menjadi komoditas utama sepakbola professional mulai berteriak. Dari permasalahan wasit, jadwal hingga gaji pemain yang tak kunjung terbayar. Tuntutan, kritikan bahkan cercaan dari supporter Indonesia yang kritis dituai oleh pelaku sepakbola. Namun terkadang, kritikan yang disuarakan salah sasaran karena mungkin banyak yang masih baru mengenal istilah “konsorsium”.

Dengung tuntutan manajemen klub terkait masalah gaji terhadap konsorsium diikuti pula dengan suara supporter serta pemain yang menuntuk tanggung jawab konsorsium. Padahal jika diulas lebih dalam, permasalahan pokok adalah pada manajemen klub yang gagal mengelola keuangan selama satu musim kompetisi.

Konsorsium sebagai pemodal, memberikan hak sepenuhnya kepada PT klub yang ada dibawahnya untuk mengelola keuangan. Dengan adanya PT tersebut, klub adalah sebuah perusahaan yang “seharusnya” ada perputaran uang didalamnya. Kenyataannya, klub hanya menjadi ladang pengikisan uang oleh jajaran manajemen. Modal yang seharusnya diputar, justru digelontorkan begitu saja untuk biaya operasional. Prinsip perusahaan akhirnya terabaikan, dan hasilnya klub-klub tersebut kehabisan uang menjelang penghujung musim.

Manajemen tidak mau disalahkan, lantas menuntut pihak konsorsium. Pihak konsorsium yang telah kepalang rugi akhirnya menuntut PT LPIS sebagai pengelola liga yang memberikan janji “sepakbola industri” kepada mereka yang berinvestasi pada klub-klub tersebut.

Imbasnya, ketika para pemain berteriak karena belum menerima gaji, tuntutan mereka tujukan kepada PT LPIS. Kenapa kepada LPIS yang notabene hanya sebagai operator liga? Salah satunya adalah karena embel-embel “konsorsium” yang sama-sama melekat pada LPIS dan Investor. Hal ini yang menjadi rancu dikalangan masyarakat yang “awam” dengan istilah konsorsium.

Jika dirunut, sudah jelas akar permasalahan ada pada Manajemen klub yang gagal. Kedua, dari pihak konsorsium sendiri tidak melakukan “fit and proper test” pada penunjukan orang-orang yang duduk di manajemen klub. Dan juga tidak adanya audit berkala terhadap keuangan klub oleh pihak konsorsium.

Propaganda dari manajemen klub untuk melepaskan tanggung jawab mereka telah sukses menggiring supporter serta para pemain yang notabene sebagai korban untuk menuntut pertanggungjawaban kepada konsorsium. Dengan situasi yang dibuat carut marut ini, banyak pihak yang lepas dari tanggung jawabnya menjalankan bisnis keuangan klub.

Berdasarkan data-data yang ada, hanya beberapa klub berada dibawah satu konsorsium yang bernama Mitra Bola Indonesia (MBI). Klub-klub tersebut antara lain Persija, Persibo, Persema, Persebaya, Persiraja, Persiba, PSMS serta Persis Solo. PT Ancora hadir sebagai konsorsium dari Arema Malang, PSIS, serta Bali Devata.

Dari beberapa klub di atas, tidak keseluruhan saham dimiliki oleh pihak konsorsium. Misalnya, PSM Makasar yang mayoritas sahamnya kini telah dibeli oleh PT Bosowa Corp.

Termasuk juga Persis Solo yang ternyata 47 persen sahamnya atas nama Hasriza Siregar mewakili konsorsium dan sisanya 53 persen oleh Ruhban Ruzziyatno mewakili Persis Solo. Seperti diketahui, Persis Solo sendiri merupakan hasil merger antara klub Persis Solo dengan Solo FC. Dengan pembagian saham tersebut, artinya ada pandangan jelas tentang tanggungjawab pemegang saham.

Untuk tuntutan para pemain atas gaji mereka, akan lebih tepat jika menganalisa ulang surat kontrak yang mereka tanda tangani. Karena dalam hal ini konsorsium bukanlah merupakan badan hukum, melainkan hanya persekutuan perdata. Tuntutan bisa ditujukan dengan personal pihak kedua yang tertera dalam surat kontrak maupun pihak anggota dari konsorsium.

Ini hanyalah analisa dibarengi dengan beberapa fakta yang ada, tentunya kita semua berharap semua permasalahan yang berkaitan dengan manajemen klub, gaji pemain serta profesionalitas kompetisi segera terselesaikan. Salam.

Penulis

Khoirul Triyana
@mediasepakbola

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.